Makalah Sumber Hukum Islam ( Hukum Syar'i Makum Bih Makum Alaih Awaridul Ahliyah)

Makalah Sumber Hukum Islam
(Hukum Syar'i Makum Bih Makum Alaih Awaridul Ahliyah) Lengkap

Makalah Agama Islam Lengkap

Cek Di  Makalah Lengkap

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Quran dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui syari'at.Sebagaimana yang di katakan imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua di siplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf.
Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani')dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.
Dalam islam, hukum islam dikenal sebagai sya’riat. Sya’riat menurut asal katanya berarti jalan menuju mata air, Dari asal kata tersebut sya’riat Islam berarti jalan yang lurus ditempuh seorang muslim. Menurut istilah, Sya’riat berarti aturan atau undang-undang yang diturunkan Allah untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia sebagai hamba Allah, individu, warga, dan subyek alam semesta. Sya’riat merupakan landasan fiqih. Pada prinsipnya syari’at adalah wahyu Allah yang terdapat dalam al- Quran dan sunah Rasulullah. Syari’at bersifat fundamental, mempunyai lingkup lebih luas dari fiqih, berlaku abadi dan menunjukkan kesatuan dalam islam.
Sedangkan fiqih adalah pemahaman manusiayang memenuhi syarat tentang sya’riat. Oleh karena itu lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, dan karena merupakan hasil karya manusia maka ia tidak berlaku abadi, dapat berubah dari masa ke masa dan dapat berbeda dari tempat yang lain. Hal ini terlihat pada aliran-aliran yang disebut dengan mazhab. Oleh karena itu fiqih menunjukkan keragaman dalam hukum Islam. (Mohammad Daud Ali, 1999:45-46).

B.  Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk mengetahui tentang Sumber Hukum Islam yaitu tentang Hukum Syar’I yang meliputi hukum :
      1)      Hukum Syar’i
      2)      Mahkum Bih
      3)      Mahkum ‘Alaih
      4)      Awaridul Ahliyah


BAB II
PEMBAHASAN

A. Hukum Syar’i
Pada umummnya ulama ushul Fiqh membagi hukum Syar’i menjadi dua bagian yaitu Hukum Taklifi dan hukum wadh’i
1.  Pengertian Hukum Syara’
Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah” atau “memutuskan”.Menurut terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm) berarti”khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupaiqtidla(perintah,larangan,anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara melkakukan dan tidak melakukan), atau wadl (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab,syarat,atau mani’[penghalang]).[1]
Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah khitab Allah dan sabda Rasul. Apabila disebut hukum syara’, maka yang dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan akidah dan akhlaq.[2]
Bila dicermati dari definisi diatas, ditarik kesimpulan bahwa ayat-ayat atau hadis-hadis hukum dapat dikategorikan dalam beberapa macam;Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang diperintahkan itu sifatnya wajib.
  1.  Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang dilarang itu sifatnya haram.
  2.  Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan itu sifatnya mandub.
  3.  Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan untuk ditinggalkan itu sifatnya makruh.
  4.  Memberi kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidakmelakukan, dan perbuatan yang diberi pilihan untuk dilakukan atau ditinggalkan itu sifatnya mubah.
  5.  Menetapkan sesuatu sebagai sebab.
  6.  Menetapkan sesuatu sebagai syarat.
  7.  Menetapkan sesuatu sebagai mani’(penghalang).
  8.  Menetapkan sesuatu sebagai kriteria sah dan fasad/batal.
  9.  Menetapkan sesuatu sebagai kriteria ‘azimah dan rukhshah.[3]

2 Macam –Macam Hukum
Secara garis besar para Ulama ushul fiqh membagi hukum kepada dua macam,yaitu:
· hukum taklifi
· hukum wadh’i
Hukum taklifi menurut para ahli ushul fiqh adalah : ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan mukalaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan untuk berbuat atau tidak berbuat.
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah: ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, mani’ (sesuatu yang menjadipenghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).
Dengan mengemukakan batasan dari dua macam hukum tersebut dapat deketahui perbedaan antara keduanya. Ada dua perbedaan mendasar antara dua macam hukum tersebut:
a.       Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukalaf, sedangkan hukum wadh’i berupa penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum taklifi. Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa sholat wajib dilaksanakan umat islam, dan hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari tergalincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat zuhur.
b.      Hukum taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukalaf. Sedangkan hukum wadh’i sebagiannya ada yang diluar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktifitas manusia.[4]
3 . Pembagian Macam-Macam Hukum

A. Hukum Taklifi
Hukum Taklifi dibagi menjadi lima:
·         Al-Ijab (kewajiban)
·         An-Nadb(kesunnahan)
·          At-tahrim (keharaman)
·         Al-karahah (kemakruhan)
·         Al ibahah (kebolehan).
1.  Wajib
Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti.secara terminologi,seperti yang dikemukakan Abd. Al-karim Zaidan, ahli hukum islam berkebangsaan Irak, wajib berarti:Sesuatu yang diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan Rasul-Nya untuk dilaksanakan oleh orang mukalaf, dan apabila dilaksanakanakan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.
Hukum wajib dari berbagai segi dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Bila dilihat dari segi orang yang dibebani  kewajiban hukum wajib dibagi menjadi dua macam yaitu:
·         Wajib ‘Aini, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah baligh dan berakal (mukalaf), tanpa kecuali. Kewajiban seperti ini tidak bisa gugur kecuali dilakukan sendiri. Misalnya, kewajiban sholat lima waktu sehari semalam, puasa dibulan Ramadhan.
·         Wajib kifayah, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukalaf, namun bila mana telah dilaksanakan oleh sebagian umat islam maka kewajiban itu dianggap sudah terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan mengerjakannya. Misalnya kewajiban sholat jenazah. Bila dilihat dari segi kandungan perintah, hukum wajib dapat dibagi kepada dua macam:
·         Wajib mu’ayyan, yaitu: suatu kewajiban yang dituntut adanya oleh syara’ dengan secara khusus(tidak ada pilihan lain). Misalnya, sholat lima waktu, puasa Ramadhan,membayar zakat.
·         Wajib mukhayyar, yaitu: suatu kewajiban yang di mana yang menjadi objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif. Misalnya, kewajiban membayar kaffarat (denda melanggar).[5]
Bila dilihat dari waktu pelaksanaanya ada dua macam:
·         Wajib mu’aqqat, yaitu: sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan secara pasti dalam waktu tertentu, seperti shalat lima waktu. Masing-masing sholat itu dibatasi wakti tertentu,artiya tidak wajib sholat sebelum waktunya dan berdosa jika mengakhirkan sholat tanpa udhur.
·         Wajib mutlaq, yaitu:sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan secara pasti tetapi tidak ditentukan waktunya, seperti menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.
Dilihat dari segi ukurannya ada dua macam:
·         Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syar’i telah ditentukan ukurannya, seperti zakat.
·         Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syar’i tidak ditentukan ukurannya, seperti bershodaqoh, infaq.[6]
2.  Mandub
Kata mandub secara etimologi berarti “sesuatu yang dianjurkan”. Secara terminologi yaitu suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-nya dimana akan diberi pahala jika melaksanakannya. Namun tidak mendapat dosa orang yang meninggalkannya. Seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, mandub terbagi menjadi tiga tingkatan :
·         Sunnah Muakadah (sunah yang dianjurkan), Yaitu perbuatan yang dibiasakan oleh Rasulullah dan jarang ditinggalkannya misalnya salat sunnah dua rakaat sebelum fajar.
·         Sunnah ghoir muakadah (sunah biasa), Yaitu sesuatu yang dilakukan Rasulullah namun bukan menjadi kebiasaannya misalnya : melakukan salat sunah dua kali dua rakkat sebelum salat dhuhur.
·         Sunah al Zawaid, Yaitu mengikuti kebiasaan sehari- hari Rasulullah sebagai manusia misalnya sopan santunnya dalam makan dan tidur.[7]
3. Haram
Pengertian haram menurut bahasa berarti yang dilarang. Menurut istilah ahli syara’ haram ialah: “pekerjaan yang pasti mendapat siksaan karena mengerjakanya”. Sedaangkan secara terminologi ushul fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya,dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menaati Allah, diberi pahala. Misalnya larangan berzina dalam firman Allah:
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.(QS.Al-isra’:32)
Dalam kajian ushul fiqh dijelaskan bahwa, sesuatu tidak akan dilarang atau diharamkan kecualikarena sesuatu itu mengandung bahaya bagi kehidupan manusia. Haram disebut juga muharram (sesuatu yang diharamkan).[8]Haram terbagi menjadi dua:
·         haram yang menurut asalnya sendiri adalah haram. Artinya bahwa hukum syara’ telah mengharamkan keharaman itu sejak dari permulaan, seperti zina,mencuri,shalat tanpa bersuci,mengawini salah satu muhrimnya dengan mengetahui keharamannya
·         haram karena sesuatu yang baru. Artinya suatu perbuatan itu pada awalnya ditetapkan sebagai kewajiban, kesunnahan, kebolehan, tetapi bersamaan dengan sesuatu yang baru yang menjadikannya haram: seperti sholat yang memakai baju gosob,jual beli yang mengandung unsur menipu, thalaq bid’i (talaq yang dijatuhkan pada saat istri sedang haid).[9]
4. Makruh
Secara bahasa kata makruh berarti “sesuatu yang dibenci”.dalam istilah ushul fiqh kata makruh,menurut mayoritas ulama ushul fiqh, berarti sesuatu yang dianjurkan syari’at untuk ditinggalkan akan mendapat pujian dan apabila dilanggar tidak berdosa. Seperti halnya berkumur dan memasukkan air ke hidung secara berlebihan di siang hari pada saat berpuasa karena dikhawatirkan air akan masuk kerongga kerokongan dan tertelan.[10]
5. Mubah
Secara bahasa berarti”sesuatu yang diperbolehkan atau diijinkan”, menurut para ahli ushul adalah sesuatu yang diberikan kepada mukalaf untuk memilih antara melakukan atau meninggalkannya. Misalnya, ketika didalam rumah tangga terjadi cekcok yang berkepanjangan dan dikhawatirkan tidak dapatlagi hidup bersama maka boleh (mubah)bagi seorang istri membayar sejumlah uang kepada suami agar suaminya itu menceraikannya,sesuai dengan QS.Al-Baqarah:229). Dan juga termasuk mudah bila syar’i memerintahkan suatu perbuatan dan terdapat alasan yang emnunjukkan bahwa perintah itu berarti mubah. Misalnya, dalam QS. Al Maidah : 2
 “Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji maka kamu boleh berburu”
Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya al-muwafaqat membagi mubah kepada tiga macam:
·         Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang pada sesuatu hal yang wajib dilakukan. Misalnya makan dan minum hukumnya mubah, namun mengantarkan seseorangsampai ia mampu mengerjakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya seperti sholat dan mencari rizki. Mubah yang seperti ini bukan berarti dianggap mubah dalam hal memilih makan atau tidak makan, karena meninggalkan makan sama sekali dalam hal ini akan membahayakan dirinya.
·         Sesuatu baru dianggap mudah bilamana dilakukan sekali-sakali, tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu. Misalnya bermain, mendengankan musik.
·         Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula. Misalnya membeli perabot rumah untuk untuk kepentingan kesenangan. Hidup senang itu hukumnya mubah dan untuk mencapai kesenangan itu memerlukan seperangkat persyaratan yang menurut esensinya harus bersifat mubah pula, karena untuk mencapai sesuatu yang mubah tidak layak denag menggunakan sesuatu yang dilarang.[11]
B. Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i trbagi menjadi tiga. Berdasarkan penelitian, telah ditetapkan bahwa Hukum Wadh’i adakalanya menjadikan sesuatu sebagai:
· Sebab
· Syarat
· Mani’.[12]

1. Sebab
Sebab menurut bahasa berarti,”sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, sebab yaitu: “sesuatu yang dijadikan oleh syari’at sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum”.[13] Misalya, tindakan perzinahan menjadi sebab (alasan) bagi wajib dilaksanakan hukuman atas pelakunya, tindakan perampokan sebagai sebab bagi kewajibannya mengembalikan benda yang dirampok kepada pemiliknya, melihat anak bulan Ramadan menyebabkan wajibnya berpuasa. Ia berdasarkan firman Allah SWT yang artinya, “ Oleh itu, sesiapa dari antara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadan (atau mengetahuinya), maka hendaklah dia berpuasa bulan itu…”(al-Baqarah: 185).
2. Syarat
Hukum wad'i yang kedua adalah syarat. Syarat secara bahasa yaitu, “sesuatu yang menghendaki adannya sesuatu yang lain” atau “sbagai tanda”. Sedangkan menurut istilah Ushul fiqh sprti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan syarat adalah: “sesuatu yang tergantung kepadanya ada ssuatu yang lain, dan berada di luar dari hakikat sesuatu itu”. Seperti: wudhu adalah  syarat bagi sahnya sholat apabila ada wudhu maka sholatnya sah, namun adanya wudhu belom pasti adanya sholat, adanya pernikahan merupakan syarat adanya talaq, jika tidak ada pernikahan maka tentu saja talaq tidak akan terjadi.
Para ulama Ushul Fiqh membagi syarat kepada dua macam:
·         Syarat syar’i, yaitu syarat yang datang langsung dari syari’at sendiri. Contoh,semua syarat yang ditetapkan olh syar’i dalam perkawinan, jual beli,hibah, dan wasiat.
·         Syarat ja’li, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukalaf itu sendiri. Cotoh Syarat yang ditetapkan suami untuk menjatuhkan talaq kepada istrinya  dan ketetapan majikan untuk memerdekakan budaknya. Artinya jatuhnya talaq atau merdeka itu tergantung pada  adanya syarat, tidak adanya syarat pasti tidak akan  ada talaq atau merdeka. Bentuk kalimat talak adalah sebab timbulnya talaq, tetapi jika telah memenuhi syarat.  [14]
3. Mani’ (penghalang)
Mani’ adalah sesuatu yang adannya meniadakan hukum atau membatalkan sebab. Dalam suatu masalah, kadang sebab syara’ sudah jelas dan memenuhi syarat-syaratnya, tetapi ditemukan adanya mani’ (penghalang) yang menghalangi konsekuensi hukum atas masalah tersebut. Sebuah akad misalnya dianggap sah bilamana telaah memenuhi syarat-syaratnya dan akad yang itu mempunyai akibat hukumselama tidak terdapat padanya suatu penghalang(mani’). Misalnya akad perkawinan yang sah karena telah mncukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai sebab waris-mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa jadi terhalang jika suami membunuh istrinya atau sebaliknya. Di dalam sebauah hadist dijelaskan bahwa tidak ada waris-mewarisi antara pembunuh dan terbunuh.
Para ahli ushul fiqh membagi mani’ kepada dua macam:
·         Mani’ al-hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan srari’at sebagai penghalang bagi adanya hukum. Misalnya, keadaan haidnya wanita itu merupakan mani’ bagi kecakapan wanita untuk melakukan sholat, oleh karena itu sholat tidak wajib dilakukannya pada waktu haid.
·         Mani’ as-sabab, yaitu suatu yag ditetapkan syariat sbagai penghalang bagi berfungsinya suatu sebab sehingga dengan demikian sebab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum. Contohnya, bahwa sampainya harta minimal satu nisab, menjadi sebab bagi wajib mengeluarkan zakat harta itu karena pemiliknya sudah tergolong orang kaya. Namun jika pemilik harta itu dalam keadaan berhutang dimana hutang itu bila dibayar akan mengurangi hartanya dari satu nisab, maka dalam kajian fiqih keadaan berhutang itu menjadi mani’ bagi wajib zahat pada harta yang dimilikinya itu. Dalam hal ini, keadaan berhutang telah mnghilangkan predikat orang kaya sehingga tidak lagi dikenakan kewajiban zakat harta.[15]

B.  Mahkum Bih
1. Pengertian Mahkum fih
Menurut Usuliyyin,yang dimaksud dengan Mahkum fih adalah obyek hukum,yaitu perbuatan seorang mukalllaf yang terkait dengan perintah syari’(Alloh dan Rosul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih suatu pekerjaan.
Para ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syari’ itu ada objeknya yaitu perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya suatu hukum:
Contoh:
1.Firman Alloh dalam surat Al Baqoroh : 43
Artinya:”Dirikanlah Sholat
Ayat ini menunjukkan perbuatan seorang mukallaf,yakni tuntutan mengerjakan sholat,atau kewajiban mendirikan sholat.
2.Firman Alloh dalam surat al an’am:151
Artinya:”Jangan kamu membunuh jiwa yang telah di haramkan oleh Alloh melainkan dengan sesuatu (sebab)yang benar”
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan mukallaf,yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak itu hukumnya haram.
3.Firman Alloh dalam surat Al-maidah:5-6
Artinya:”Apabila kamu hendak melakukan sholat,maka basuhlah mukamu dan tangan mu sampai siku siku”
Dari Ayat diatas dapat diketahui bahwa wudlu merupakan salah satu perbuatan orang mukallaf,yaitu salah satu syarat sahnya sholat.
Dengan beberapa contoh diatas,dapat diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf.
B. Syarat –Syarat mahkum fih
a.       Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang akan di lakukan.sehingga tujuan dapat tangkap dengan jelas dan dapat dilaksanakan.Maka seorang mukallaf tidak tidak terkena tuntutan untukk melaksanakan sebelum dia tau persis.
Contoh:Dalam Al qur’an perintah Sholat yaitu dalam ayat “Dirikan Sholat” perintah tersebut masih global,Maka Rosululloh menjelaskannya sekaligus memberi contoh sabagaimana sabdanya”sholatlah sebagaimana aku sholat”begitu pula perintah perintah syara’ yang lain seperti zakat,puasa dan sebagainya.tuntutan untuk melaksanakannya di anggap tidak sah sebelum di ketahui syarat,rukun,waktu dan sebagainya.
b.      Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. seseorang harus mengetahui  bahwa tuntutan itu dari Alloh SWT.Sehingga ia melaksanakan berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan perintah  Alloh semata.berarti tidak ada keharusan untuk mengerjakan suatu perbuatan sebelum adanya suatu peraturan yang jelas.hal ini untuk menghindari kesalahan dalam pelaksanaan sesuai tuntutan syara’.
c.       Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan,berkait dengan hal ini terdapat dengan beberapa syatat yaitu:
·         tidak syah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau di tinggalkan.
·         tidak syah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan untuk dan atas nama orang lain.
·         tidak sah suatu tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia.
·         tercapaianya syarat taklif tersebut, seperti iman dalam masalah ibadah,suci dalam masalah sholat.

3. Al Masyaqqoh
Perlu diketahui bahwa salah satu syarat tuntutan harus bisa dilakukan, tidak terlepas dari itu dalam melaksanakannya pasti ada ada suatu kesulitan. untuk itu akan kami jelaskan yang dimaksud adalah masyaqqoh (halangan)  serta pembagiannya
Masyaqqoh itu ada dua macam yaitu:
1. Masyaqqoh mu’tadah
Yaitu kesulitan yang mampu diatasi oleh manusia tanpa menimbulkan bahaya bagi dirinya kesulitan seperti ini tidak bisa di jadikan alasan untuk tidak mengerjakan taklif,karena setiap perbuatan itu tidak mungkin terlepas dari kesulitan.contohnya:Diwajibkannya adanya sholat ini buakan bermaksud agar badan capek atau bagaimana,akan tetapi untuk melatih dirinya diantaranya bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar
2  Masyaqqoh goiru mu’tadah
Yaitu suatu kesulitan/kesusahan yang diluar kekuasaan manusia dalam mengatasinya dan akan merusak jiwanya bila di paksakan.Alloh tidak tidak menuntut manusia untuk melakukan perbuatan yang menyebabkan kesusahan.seperti puasa yang terus menerus sehingga mewajibkan selalu bangun malam untuk sahur.
Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu(Al-Baqarah 185)

4. Macam macam mahkum bih
Dilihat dari segi yang terdapat dalam perbuatan itu maka mahkum fih di bagi menjadi empat macam:
1.      Semata mata hak Alloh,yaitu sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan.dalam hak ini seseorang tidak di benarkan melakukan pelecehan dan melakukan suatu tindakan yang mengganggu hak ini.hak ini semata mata hak Alloh.dalam hal ini ada delapan macam:
a.       ibadah mahdhoh (murni) seperti iman dan rukun iman yang lima
b.      ibadah yang di dalamnya mengandung makna pemberian dan santunan,seperti:zakat fitrah,karena si syaratkan niat dalam zakat fitrah
c.       bantuan/santunan yang mengandung ma’na ibadah seperti: zakat yang dikeluarkan dari bumi
d.      biaya/santunan yang mengandung makna hukuman,seperti: khoroj (pajak bumi) yang di anggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
e.       hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana sperti hukuman orang yang berbuat zina
f.       hukuman yang tidak sempurna seperti seseorang tidak diberi hak waris,karena membunuh pemilik harta tersebut.
g.      hukuman yang mengandung makna ibadah seperti:kafarat orang yang melakukan senggama disiang hari pada bulan ramadhan
h.      hak hak yang harus di bayarkan,seperti: kewajiban mengeluarkan seperlima harta tependam dan harta rampasan.
2.      Hak hamba yang berkait dengan kepentingan pribadi seseorang seperti ganti rugi harta seseorang yang di rusak.
3.      Kompromi antara hak Alloh dengan hak hamba,tetapi  hak alloh didalamnya lebih dominan,seperti hukuman untuk tindak pidana.
4.      Kompromi antara hak Alloh dan hak hamba,tetapi hak hamba lebih dominan,seperti masalah qishos.
C. MAHKUM ‘ALAIH
1. Pengertian mahkum alaih
Menurut ushuliyyin yang di maksud mahkum alaih secara bahasa adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitob Alloh SWT yaitu yang di sebut mukallaf.dalam arti bahasa yaitu yang di bebani hukum,sedangkan dalam istilah ushul fiqih mukallaf sering di sebut subjek hukum.
2. Dasar Taklif
Orang yang dikenai taklif adalah mereka yang sudah di anggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum atau dalam kata lain seseorang bisa di bebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif. Maka orang yang belum  berakal di anggap tidak bisa memahapi taklif dari syari’(Allod dan Rosulnya) sebagai sabda nabi:
Artinya: Di anggat pembebanan hukum dari 3(jenis orang) orang tidur sampai ia bangun,anak kecil sampai baligh,dan orang gila sampai sembuh.(HR.Bukhori.Tirmdzi,nasai.ibnu majah dan darut Quthni dari Aisyah dan Aly ibnu Abi Thalib)

3. Syarat syarat taklif
Syarat taklif ada 2 yaitu:
1.      orang itu telah mampu memahami khitob syar’i(tuntutan syara’) yang terkandung dalam Al qur’an dan sunnah baik langsung maupun melalui orang lain.Kemampuan untuk memahami taklif ini melalui akal manusia,akan tetapi akan adalah sesuatu yang abstrak dan sulit di ukur ,indikasi yang kongkrit dalam menentukan seseorang berakal atau belun.indikasi ini kongkrit itu adalah balighnya seseorang yaitu dengan di tandai dengan keluarnya haid pertama kali bagi wanita dan keluarnya mani bagi pria melalui mimpi yang pertama kali atau sempurnanya umur lima belas tahun.
2.      Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum,atau dalam ushul fiqh di sebut Ahliyyah.maka seseorang yang belum mampu bertindak hukum atau belum balighnya seseorang tidak dikenakan tuntutan syara’.begitu pula orang gila,karena kecakapan bertindak hukumnya hilang.
D. Pengertian Ahliyyah
Secara harfiyyah ahliyyah adalah kecakapan menangani sesuatu urusan
Adapun Ahliyyah secara terminologi adalah suatu sifat yang di miliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’
Pembagian ahliyyah
1.  Ahliyyah ada’
Yaitu kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang di anggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya,baik yang bersifat positif maupun negatif.ukuran untuk menentukan seseorang telah memiliki ahliyyah ada’adalah aqil baligh dan cerdas
2. Ahliyyah Al-wajib
Yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak hak yang menjadi haknya,tetapi belum mampu untuk di bebani seluruh kewajiban,
Para usuliyyin membagi ahliyyah al wujub ada 2 bagian:
1. Ahliyyah al wujub an-naqishoh.
Yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya(janin)janin inilah sudah dianggap mempunyai ahliyyah wujub akan tetapi belum sempurna.
2.  Ahliyyah al wujub al kamilah
Yaitu kecakapan menerima hak bagi seseorang anak yang telah lahir ke dunia sampai dinyatakan baligh dan berakal,sekalipun akalnya masih kurang seperti orang gila
-Halangan ahliyyah
Dalam pembahasan awal bahwa seseorang dalam bertindak hukum di lihat dari segi akal,tetapi yang namanya akal kadang berubah atau hilang sehingga ia tidak mampu lagi dalam bertindak hukum.seseorang kecakapannya bisa berubah karena di sebabkan oleh hal hal berikut:
  1. Awaridh samawiyyah yaitu halangan yang datangnya dari Alloh bukan di sebabkan oleh manusia seperti: gila, dungu, perbudakan, sakit yang berkelanjutan kemudian mati dan lupa
  2. Al awaridh al muktasabah yaitu halangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia seperti mabuk,terpaksa,bersalah,dibawah pengampunan dan bodoh.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

1.      Hukum syara’ adalah khitab Allah dan sabda Rasul. Apabila disebut hukum syara’, maka yang dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan akidah dan akhlaq.
2.      Hukum Islam dibagi menjadi dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
3.      Hukum taklifi adalah hukum syar’i yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan. Hukum Taklifi ini dibagi menjadi lima bagian, yaitu wajib,mandub, haram, makruh, mubah.
4.      Hukum Wadh’i adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang (mani’) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut. Hukum wadh’i dibagi menjadi tiga, yaitu sebab, syarat, mani’.
Semua perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara` dinamakan dengan Mahkum Fiih. Akan tetapi ada beberapa syarat tertentu agar perbuatannya dapat dijadikan objek hukum. Dalam mengerjakan tuntutan tersebut tentu mukallaf mengalami kesulitan-kesulitan (masyaqqah).Ada yang mampu diatasi manusia seperti : sholat, puasa dan haji. Meskipun pekerjaan ini terasa berat, tapi masih bisa dilakukan oleh mukallaf.Ada kesulitan yang tidak wajar yang munusia tidak sanggup melakukannya seperti puasa terus menerus dan mewajibkan untuk bangun malam, atau suatu pekerjaan sangat berat seperti perang fi- sabilillah, karena hal ini memerlukan pengorbanan jiwa, harta dan sebagainya.Mukallaf yang telah mampu  mengetahui khitob syar’i(tuntutan syara’) maka sudah di kenakan taklif. Semoga bermanfaat. wallohu a’lam bissowab.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Prof.Dr.H.Satria Efendi,M.zein,M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana 2009).hlm:36.
[2]Drs.Muin Umar, Ushul Fiqh 1, (Jakarta:1985).hlm:20.
[3] Prof.Dr.H.Satria Efendi,M.zein,M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana 2009).hlm:38-39.
[4] Prof.Dr.H.Satria Efendi,M.zein,M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana 2009).hlm:40-41
[5] Prof.Dr.H.Satria Efendi,M.zein,M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana 2009).hlm:43-46.
[6] Prof.Dr.Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, (Jakarta:Pustaka Amani 1977).hlm:146-151.
[7] Prof.Dr.H.Satria Efendi,M.zein,M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana 2009).hlm:52-53
[8]ibid.,hlm:53-54.
[9] Prof.Dr.Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, (Jakarta:Pustaka Amani 1977).hlm:156.
[10] Prof.Dr.H.Satria Efendi,M.zein,M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana 2009).hlm:58




Tiada ulasan: