Makalah Agroforestri Lengkap
PENDAHULUAN
Keberadaan pohon
dalam agroforestri mempunyai dua peranan utama.
Pertama, pohon dapat mempertahankan produksi tanaman
pangan dan memberikan pengaruh positif pada lingkungan
fisik, terutama dengan memperlambat kehilangan hara
dan energi, dan menahan daya perusak air dan angin. Kedua, hasil
dari pohon berperan penting dalam ekonomi rumah
tangga petani. Pohon dapat menghasilkan 1) produk yang digunakan
langsung seperti pangan, bahan bakar, bahan bangunan; 2) input untuk
pertanian seperti pakan ternak, mulsa; serta 3) produk atau kegiatan yang
mampu menyediakan lapangan kerja atau penghasilan kepada
anggota rumah tangga. Dengan demikian, pertimbangan sosial ekonomi dari suatu
sistem agroforestri merupakan faktor penting dalam proses pengadopsian sistem
tersebut oleh pengguna lahan maupun pengembangan sistem tersebut baik oleh
peneliti, penyuluh, pemerintah, maupun oleh petani sendiri.
Pembangunan kehutanan diarahkan untuk memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga
kelestarian dan kelangsungan fungsi hutan. Dalam pelaksanaan pembangunan
kehutanan sangat diperlukan peran serta masyarakat di dalam dan di luar kawasan
hutan. Untuk itu keberhasilan
pembangunan kehutanan sangat ditentukan oleh keberhasilan pembangunan
masyarakat sekitar terutama untuk peningkatan kesejahteraan. Perubahan
penggunaan lahan dari hutan menjadi areal pertanian merupakan kenyataan yang
terjadi sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Di daerah Sumberjaya,
masyarakat telah banyak mengkonversi lahan hutan menjadi areal perkebunan kopi
sebagai mata pencahariannya. Pada tahun 1970-an sekitar 60% daerah ini masih
dalam keadaan hutan alam, tetapi pada akhir tahun 1990-an hanya sekitar 15%
hutan yang masih tertinggal (Agus et al., 2002). Alih fungsi lahan hutan
menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan
kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan
bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke
waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dikonversikan menjadi
lahan usaha lain. Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang
mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi
1.2 Tujuan Penulisan
Menurut
latar belakang masalah di atas maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah
untuk mengetahui tentang Agroforestri
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Agroforestry
Agroforestry menurut Huxley (dalam Suharjito et al.)
merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman
berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak
berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada
komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi
ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya.
Agroforestry telah menarik perhatian peneliti-peneliti teknis
dan sosial akan pentingnya pengetahuan dasar pengkombinasian antara pepohonan
dengan tanaman tidak berkayu pada lahan yang sama, serta segala keuntungan dan kendalanya.
Penyebarluasan agroforestry diharapkan
bermanfaat selain mencegah perluasan tanah terdegradasi, melestarikan sumber daya
hutan, dan meningkatnya mutu pertanian serta menyempurnakan intesifikasi dari
diversifikasi silvikultur (Hariah et al, 2003).
2.2 Sejarah Perkembangan Agroforestry
Pemikiran tentang
pengkombinasian komponen kehutanan dengan pertanian sebenarnya bukan merupakan
hal yang baru. Pohon-pohon telah dimanfaatkan dalam sistem pertanian sejak
pertama kali aktivitas bercocok tanam dan memelihara ternak dikembangkan.
Sekitar tahun 7000 SM terjadi perubahan budaya manusia dalam mempertahankan
eksistensinya dari pola berburu dan mengumpulkan makanan ke bercocok tanam dan
beternak. Sebagai bagian dari proses ini mereka menebang pohon, membakar
serasah dan selanjutnya melakukan budidaya tanaman. Dari sini lahirlah
pertanian tebas bakar yang merupakan awal agroforestry.
Tradisi
pemeliharaan pohon dalam bentuk kebun pada areal perladangan, pekarangan dan
tempat-tempat penting lainnya oleh masyarakat tradisional
itu dikarenakan nilai-nilainya yang dirasakan tinggi sejak manusia
hidup dalam hutan. Menurut Hariah (2003) pada akhir abad XIX, pembangunan hutan
tanam menjadi tujuan utama. Agroforestry dipraktekkan
sebagai sistem pengelolaan lahan. Pada pertengahan 1800-an dimulai penanaman
jati di sebuah daerah di Birma oleh Sir Dietrich Brandis. Penanaman jati dilakukan
melalui taungya, diselang-seling atau dikombinasikan dengan
tanaman pertanian. Kelebihan sistem ini bukan hanya dapat menghasilkan bahan pangan, tetapi
juga dapat mengurangi biaya pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman yang
memang sangat mahal.
2.3 Ruang Lingkup Agroforestry
Pada dasarnya agroforestry terdiri
dari tiga komponen pokok yaitu : kehutanan, pertanian, dan peternakan.
Masing-masing komponen sebenarnya dapat berdiri sendiri-sendiri sebagai satu
bentuk sistem penggunaan lahan. Hanya saja sistem-sistem tersebut umumnya
ditujukan pada produksi satu komoditi khas atau kelompok produk yang serupa.
Menurut Sa’ad (2002) Penggabungan tiga komponen tersebut menghasilkan beberapa
kemungkinan bentuk kombinasi
yakni:
1. Agrosilvikultur merupakan kombinasi tanaman dan pohon, dimana penggunaan lahan secara
sadar untuk memproduksi hasil-hasil pertaniandan kehutanan.
2. Silvopastura merupakan kombinasi padang rumput (makanan ternak dan pohon),
pengelolaan lahan hutan yang memproduksi hasil kayu dengan, dan sekaligus
pemeliharaan ternak.
3. Agrosilvopastural merupakan kombinasi tanaman, padang
rumput (makanan ternak dan pohon) pengelolaan lahan hutan untuk
memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan dan
sekaligus memelihara hewan ternak.
4. Silvofishery merupakan kombinasi kegiatan kehutanan dan perikanan.
5. Apiculture merupakan
budi daya lebah madu yang dilakukan pada komponen kehutanan.
6. Sericulture merupakan budi daya ulat sutra yang dilakukan pada komponen
kehutanan.
Dalam
bahasa Indonesia , kata agroforestry dikenal dengan
istilah wana tani yang artinya adalah menanam pepohonan di
lahan pertanian. Menurut De foresta dan Michon (dalam Hariah et
al.) agroforestry dapat dikelompokkan
menjadi dua sistem yakni :
1. Agroforestry sederhana merupakan sistem pertanian di mana pepohonan
ditanam secara tumpang sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim.
Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan,
secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lainnya misalnya berbaris dalam
larikan sehingga membentuk lorong/pagar.
2. Agroforestry kompleks merupakan sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak
jenis pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara
alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan
ekosistem yang menyerupai hutan, contohnya hutan dan kebun.
2.4 Tujuan dan Sasaran Agroforestry
Agroforestry merupakan bentuk dari sistem pertanian yang
orisinil di daerah-daerah yang semula lahannya berupa hutan. Sistem agroforestry memiliki
peluang yang menjanjikan dengan produksi tanaman semusim dan tahunan, tetapi
juga mengintegrasikan usaha peternakan. Secara ekologis agronomis, ternyata
dapat menunjukkan banyak manfaat yang tidak dijumpai pada sistem agroforestry maka
secara umum pohon-pohon akan menyediakan struktur pemanenan di atas dan di
bawah tanah bagi sistem tanam (Arief, 2001).
Sebagaimana
pemanfatan lahan lainnya, agroforestry dikembangkan
untuk memberi manfaat kepada manusia atau meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Agroforestry diharapkan dapat memecahkan
berbagai masalah pengembangan pedesaan dan sering kali sifatnya
mendesak. Agroforestry utamanya diharapkan dapat membantu
mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan
guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem
keberlanjutan ini dicirikan antara lain oleh tidak adanya
penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya pencemaran
lingkungan.
Adapun yang menjadi
tujuan dari pelaksanaan sistem agroforestry menurut Von
Maydell (dalam Hariah et al.) yakni : menjamin dan memperbaiki
kebutuhan pangan, memperbaiki penyediaan energi lokal khususnya produksi kayu
bakar, meningkatkan dan memperbaiki secara kualitatif dan diversifikasi bahan
mentah kehutanan maupun pertanian, memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan
khususnya pada daerah dengan persyaratan hidup yang sulit di mana masyarakat
miskin banyak dijumpai, memelihara dan bila mungkin memperbaiki kemampuan
produksi dan jasa lingkungan setempat (Hariah et al , 2003).
2.5 Kajian Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestry
Terdapat empat
aspek dasar yang mempengaruhi keputusan petani untuk menerapkan atau tidak
menerapkan agroforestri, yaitu:
1 . Kelayakan (feasibility)
2 . Keuntungan (profitability)
3 . Dapat tidaknya diterima (acceptibility)
4 . Kesinambungan (sustainability)
1. Kelayakan (Feasibility)
Faktor kelayakan
mencakup aspek apakah petani mampu mengelola
agroforestri dengan sumber daya dan teknologi yang mereka
punyai, apakah mereka mampu untuk mempertahankan dan bahkan mengembangkan sumber
daya dan teknologi tersebut.
A.
Sumber Daya yang Tersedia
- Status ekonomi
Hutan
merupakan sistem penggunaan lahan yang ‘tertutup’ dan tidak ada campur
tangan manusia. Masuknya kepentingan manusia secara terbatas misalnya
pengambilan hasil hutan untuk subsisten tidak mengganggu hutan dan fungsi
hutan. Tekanan penduduk dan ekonomi yang semakin besar mengakibatkan
pengambilan hasil hutan semakin intensif (misalnya penebangan kayu) dan bahkan
penebangan hutan untuk penggunaan yang lain misalnya perladangan, pertanian
atau perkebunan.
- Luas lahan
Hutan
menempati ruangan (space) di permukaan bumi, terdiri dari
komponen-komponentanah, hidrologi, udara atau atmosfer, iklim, dan sebagainya dinamakan
‘lahan’. Lahan sangat bermanfaat bagi berbagai kepentingan manusia
sehingga bisa memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Pemilikan lahan
yang sempit cenderung mengurangi minat budidaya pohonpohon Peningkatan
kepadatan penduduk berarti peningkatan ketersediaan tenaga kerja per unit
lahan, sehingga petani lebih memilih tanaman-tanaman yang lebih
intensif (Berenschot et al., 1988; Pengaruh luas
lahan terhadap pilihan praktek agroforestri tergantung pada faktor lainnya,
misalnya ketersediaan alternatif sumber-sumber ekonomi
keluarga dan pola komposisi jenis tanaman menurut
intensitas waktu panen.
- Kualitas lahan
Berdasarkan
penelitiannya pada masyarakat petani di Peru – Amazon, Loker (1993) menunjukkan
bahwa dalam kondisi alam yang sulit (lahan tidak subur atau miskin) petani Peru
telah mengembangkan sistem pertanian campuran
yang mencakup budidaya tanaman setahun (a.l. padi,
jagung, ubi kayu), budi daya tanaman tahunan (a.l. sitrus, mangga), dan
pemeliharaan ternak sapi. Lahan yang tersedia sangat luas, sedangkan
ketersediaan tenaga kerja terbatas. Pemeliharaan ternak sapi,
meskipun dipandang telah menyebabkan kerusakan lingkungan (degradasi lahan),
merupakan strategi hidup yang penting dan memberikan
keuntungan ganda bagi peternak.
- Tenaga kerja dan
alokasinya
Paolisso et
al. (1999) berdasarkan penelitiannya di Yuscaran –
Honduras, menjelaskan bahwa respon rumah tangga petani terhadap
degradasi lahan dipengaruhi oleh gender dan struktur demografi rumah
tangga. Kultur masyarakat Yuscaran menekankan bahwa
pertanian adalah pekerjaan laki-laki. Namun kondisi degradasi lahan
pertanian telah meningkatkan peran perempuan pada kegiatan
pertanian. Curahan waktu kerja laki-laki pada budidaya
jagung secara positif dipengaruhi oleh kualitas lahan dan secara negatif
oleh kemudahan (kepekaan) erosi lahan. Tenaga kerja laki-laki
pada rumah tangga yang lahan pertaniannya marjinal (miskin) dan peka
erosi cenderung meninggalkan pertaniannya dan bekerja di sektor
non-pertanian (offfarm). Sehingga beban tenaga kerja perempuan cenderung
bertambah berat, yakni bukan hanya bertanggung jawab untuk kegiatan reproduksi
melainkan juga untuk kegiatan produksi yakni bekerja pada lahan
pertaniannya. Peran tenaga kerja perempuan tersebut tergantung
ketersediaan tenaga kerja anakdewasa yang dapat membantu bekerja dan keberadaan
anak bayi dan balita.
B. Teknologi pendukung
Banyak penelitian
yang menghasilkan rekomendasi penanganan dan pemecahan masalah yang dihadapi
petani dalam mengelola agroforestri. Kenyataannya, banyak
petani yang tidak melaksanakan apa yang direkomendasikan oleh
peneliti. Alasan utama yang menyebabkan penolakan adopsi inovasi di
tingkat petani:
a. Terdapat perbedaan pandangan antara penyedia dengan pelaku
teknologi
Hasil rekomendasi yang diberikan seringkali didasarkan
pada sudut pandang atau pengetahuan peneliti. Rekomendasi yang
diberikan adalah apa yang seharusnya dilakukan bila dilihat dari sudut pandang
ilmiah. Namun para petani memiliki pertimbangan dan
pemahaman yang berbeda, sehingga apa yang mereka lakukan tidak selalu
sesuai dengan rekomendasi atau tawaran teknologi yang diberikan oleh
peneliti.
b. Ada hambatan komunikasi antara penyedia dengan pelaku
teknologi
Rekomendasi teknologi seringkali dikemas dengan bahasa
ilmiah. Bahasa ilmiah sangat berbeda dengan bahasa
petani. Bahasa ilmiah seringkali sulit dicari padanannya dalam
bahasa sehari-hari. Hambatan komunikasi antara penyedia dengan
pelaku teknologi kemungkinan juga disebabkan oleh rendahnya penyediaan sarana
dan prasarana komunikasi, termasuk kelangkaan tempat atau orang di mana pelaku
teknologi dapat bertanya tentang masalah agroforestri pada
lahannya.
c. Penyeragaman teknologi untuk berbagai plot pada berbagai
bentang lahan
Bentang lahan yang berbeda akan mempunyai sifat dan ciri
yang berbeda pula, sehingga setiap sistem agroforestri pada bentang lahan yang
berbeda akan memerlukan penanganan dan teknologi yang berbeda.
C. Orientasi produksi
Alasan utama yang
mendasari keputusan rumah tangga petani untuk menerapkan agroforestri adalah
keuntungan finansial dari hasil pohon. Namun banyak penelitian yang membuktikan
bahwa pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang dapat disediakan dari sistem
agroforestri merupakan pendorong utama sebagian besar rumah tangga petani untuk
menanam pohon. Perubahan pertanian dari yang semula subsisten
menjadi semakin komersial menyebabkan penanaman pohon pada skala petani menjadi
lebih rentan terhadap pengaruh ekonomi. Kemudahan akses ke pasar untuk
menjual hasil pohon menciptakan peluang terciptanya sumber
penghasilan, dan memberikan peluang untuk menukar input yang semula tersedia
dari pohon dengan input lain, misalnya pupuk.
a. Dari subsisten ke komersial
Orientasi produksi
agroforestri dapat dibedakan menjadi subsisten dan
komersial. Orientasi ekonomi masyarakat berburu-meramu (hunting dan gathering),
peladang berpindah (ladang gilir-balik = shifting cultivation atau swidden
agriculture), dan petani kecil (peasant) adalah subsisten, artinya
kegiatan ekonominya diorientasikan terutama untuk memenuhi kebutuhan
keluarga (konsumsi), bukan untuk meningkatkan modal (kapital) melalui
investasi ulang (reinvestation). Sedangkan petani besar yang
mengusahakan tanaman perdagangan cenderung berorientasi
komersial. Pengertian subsisten dan komersial dalam
tulisan ini dimaksudkan secara sederhana untuk menggambarkan adanya orientasi
produksi agroforestri untuk dikonsumsi sendiri atau untuk dipasarkan, bukan
dimaksudkan untuk menggambarkan adanya model produksi kapitalis (the
capitalist mode of production). Orientasi subsisten mengarahkan
pilihan-pilihan jenis tanaman untuk dapat dikonsumsi sendiri, sedangkan
orientasi komersial mengarahkan pilihan-pilihan jenis tanaman yang dapat
dipasarkan. Perubahan orientasi pasar dari subsisten ke komersial
seringkali merupakan ancaman terhadap keberlanjutan sistem
agroforestri.
b. Kehidupan yang semakin konsumtif
Layanan lingkungan
sebagai salah satu peran penting agroforestri menjadi
tidak begitu penting. Hal ini terjadi pada
daerah yang mengalami 1) integrasi yang lebih besar ke dalam suatu ekonomi
pasar, yang mengutamakan kebutuhan konsumsi pribadi jangka pendek di
atas kebutuhan hidup komunal dalam jangka panjang, atau 2)
kemiskinan begitu ekstrim hingga hanya bisa menjamin kelangsungan hidup
sehari-hari (Rhoades, 1988 dalam Reinjtjes et al., 1992).
Meningkatnya hubungan masyarakat desa dengan masyarakat industri/kota, dapat
menyebabkan makin tingginya kebutuhan uang untuk membeli produk industri, atau
menciptakan kehidupan yang lebih konsumtif.
c. Pemenuhan kebutuhan
Untuk konsumsi
sendiri dan pemasaran lokal secara langsung, bukan hanya kuantitas, tetapi juga
kualitas menjadi bahan pertimbangan penting. Kemudahan akses ke pasar dan harga
pasar bagi produk pertanian dibandingkan pohon akan menentukan apakah petani
memilih menanam pohon di lahan mereka atau tidak.
D. Pengetahuan lokal petani
Diseminasi
informasi tentang teknik-teknik agroforestri seringkali merupakan isu yang agak
sensitif. Dalam mempromosikan teknik agroforestri, peneliti dan
pakar harus menyadari dan peka terhadap peran dan pengetahuan petani
akan lahan mereka sendiri. Mereka juga harus peka
terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan di tingkat
rumah tangga petani. Petani telah mempraktekkan
agroforestri selama berabad-abad. Tidak jarang
mereka berpedoman bahwa lebih baik menerapkan teknik yang sudah
biasa mereka lakukan dibandingkan dengan menerapkan sesuatu yang masih baru
(dan dibawa oleh orang luar). Petani akan lebih mudah mengadopsi
agroforestri jika mereka terbiasa dengan penggunaan pohon dalam
sistem pertanian, dan mengetahui bahwa integrasi pohon ke dalam proses produksi
pangan telah sukses dilakukan oleh petani yang lain. Memang, risiko
kegagalan akan lebih besar pada petani dengan teknik ilmiah baru
daripada dengan teknik tradisional. Jadi inovasi penyesuaian
terhadap teknik tradisional akan mengurangi risiko kegagalan agroforestri.
E. Kebijakan pendukung
Kebijakan
pemerintah dapat menjadi pendorong agroforestri ke arah
kegagalan atau keberhasilan. Beberapa kebijakan yang
menghambat produksi dan penjualan atau pemasaran produk agroforestri
sedapat mungkin diperbaiki. Sebagai contoh, perubahan kebijakan
penanaman cendana di Nusa Tenggara Barat. Perubahan
kebijakan pada tahun 1999 mendorong petani untukmenerapkan agroforestri dengan
cendana sebagai salah satu komponennya. Sebelumnya, petani menganggap cendana
sebagai ‘kayu pembawa bencana’. Kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak
misalnya dapat mengakibatkan semakin tingginya harga input produksi
tanaman pangan. Hal ini ditunjang dengan pengurangan subsidi
pupuk sampai ke tingkat harga yang tidak terjangkau
petani. Di pihak lain, pada lahan-lahan yang kualitas kesuburannya rendah,
kebutuhan pupuk semakin besar jika petani ingin mempertahankan tingkat
produksi. Kondisi ini dapat dimanfaatkan sebagai pendorong bagi
penerapan dan pengembangan agroforestri
2. Keuntungan (Profitability)
Agroforestri lebih
menguntungkan dibandingkan sistem penggunaan lahan yang lain, perlu
diingat bahwa sistem produksi agroforestri memiliki suatu kekhasan, di
antaranya:
·
Menghasilkan
lebih dari satu macam produk
·
lahan
yang sama ditanam paling sedikit satu jenis tanaman semusim dan satu jenis
tanaman tahunan/pohon
·
Produk-produk yang
dihasilkan dapat bersifat terukur (tangible) dan tak terukur (intangible)
·
Terdapat
kesenjangan waktu (time lag) antara waktu penanaman dan pemanenan
produk tanaman tahunan/pohon yang cukup lama
Analisis ekonomi
terhadap suatu sistem agroforestri harus memperhatikan ciri
ciri sistemagroforestri tersebut di atas.
1) Konsep ekonomi
Sistem agroforestri
dapat dikatakan menguntungkan apabila 1) dapat menghasilkan tingkat output yang
lebih banyak dengan menggunakan jumlah input yang sama, atau 2)
membutuhkan jumlah input yang lebih rendah untuk menghasilkan tingkat output
yang sama. Kondisi ini dicapai apabila ada interaksi
antar komponen yang saling menguntungkan baik dari segi biofisik, maupun
ekonomi. Interaksi biofisik (dalam Bahan Ajaran 4) sebenarnya
mencerminkan interaksi ekonomi, apabila output fisik per satuan lahan
diubah menjadi nilai uang per satuan biaya faktor
produksi. Seperti juga dalam interaksi biofisik, interaksi ekonomi
antar komponen dalam sistem agroforestri dapat bersifat menguntungkan, netral,
maupun kompetitif. Dasar penerapan agroforestri adalah interaksi
biofisik yang positif, yang akan menghasilkan interaksi ekonomi yang positif
pula Kenaikan output pada tingkat sumber daya yang sama, dapat disebabkan oleh
kenaikan jumlah output fisik atau kenaikan harga per satuan
output. Yang pertama mungkin disebabkan interaksi
biofisik yang positif, yang kedua dapat disebabkan kualitas produk atau waktu
panen yang tepat. Demikian juga penurunan biaya input dapat disebabkan
oleh penurunan jumlah output yang dibutuhkan, atau penurunan harga
per satuan input. Pada umumnya, interaksi biofisik yang
positif akan menghasilkan penurunan biaya input, misalnya dari segi tenaga
kerja dan penggunaan sumber daya yang lain.
Adanya naungan pohon dapat menekan pertumbuhan
gulma, sehingga kebutuhan tenaga kerja berkurang. Dengan adanya
berbagai komponen dengan waktu panen yang berbeda, distribusi tenaga
kerja menjadi merata. Contoh yang lain, di Costa Rica kopi yang
ditanam di bawah naungan Cordia alliodora mengalami panen raya
2,5 minggu lebih lambat dibandingkan dengan yang tanpa
naungan (Hoekstra, 1990).
2. Indikator finansial
Sistem agroforestri
menghasilkan bermacam-macam produk yang jangka waktu pemanenannya berbeda, di
mana paling sedikit satu jenis produknya membutuhkan waktu pertumbuhan yang
lebih dari satu tahun. Untuk melihat sejauh mana suatu usaha agroforestri
memberikan keuntungan, maka analisis yang paling sesuai untuk dipakai adalah
analisis proyek yang berbasis finansial.
Analisis finansial
pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui seberapa besar manfaat yang diperoleh,
biaya yang dikeluarkan, berapa keuntungannya, kapan pengembalian
investasi terjadi dan pada tingkat suku bunga berapa investasi itu memberikan
manfaat. Melalui cara berpikir seperti itu maka harus ada
ukuran-ukuran terhadap kinerjanya. Ukuran-ukuran yang digunakan
umumnya adalah
·
Net
Present Value (NPV) atau Nilai Kiwari Bersih,
·
Benefit
Cost Ratio (BCR) atau Rasio Keuntungan Biaya dan
·
Internal
Rate of Return (IRR).
3. Sensitivitas dan Resiliensi
Analisis
sensitivitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kepekaan
sebuah kegiatan (proyek) terhadap adanya
perubahan-perubahan. Perubahan yang dimaksud baik berupa
perubahan nilai input maupun nilai output serta perubahan tingkat
suku bunga. Analisis tersebut, bukan saja dapat dipakai untuk
mengetahui kepekaan proyek yang bersangkutan, tetapi juga dapatdigunakan untuk
membandingkan antar alternatif proyek. Sedangkan resiliensi menunjukkan daya
tahan usaha agroforestri terhadap berbagai perubahan.
4) Analisis Komparatif
Analisis komparatif
ditujukan untuk menentukan pilihan berdasarkan : nilai finansial terbesar dan
risiko dari implikasi kebijakan baik yang bersifat insentif maupun disinsentif
terhadap sumber daya alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Analisis
komparatif yang dimaksud di sini adalah perbandingan antara penggunaan
lahan untuk agroforestri dengan penggunaan lahan non agroforestri.
5) Kontribusi pendapatan rumah tangga dan perekonomian
wilayah
Agroforestri
sebagai suatu sistem produksi tentunya memberikan pendapatan terhadap
pengelolanya baik langsung maupun tidak langsung. Analisis ekonomi
yang banyak dilakukan di Indonesia adalah melihat seberapa
besar suatu sistem agroforestri memberikan kontribusi terhadap
pendapatan total keluarga dan juga bagaimana kontribusi hasil dari suatu sistem
agroforestri terhadap perekonomian daerah setempat.
3. Kemudahan untuk diterima (Acceptibility)
Sistem agroforestri
dapat dengan mudah diterima dan dikembangkan kalau manfaat sistem agroforestri
itu lebih besar daripada kalau menerapkan
sistem lain. Aspek ini mencakup atas perhitungan risiko, fleksibilitas
terhadap peran gender, kesesuaian dengan budaya setempat, keselerasan dengan
usaha yang lain, dsb.
- Risiko usaha
Rumah
tangga petani dengan lahan sempit sangat mementingkan distribusi produksi yang
merata dari waktu ke waktu, sehingga mengamankan kebutuhan sepanjang
tahun dan mendayagunakan sumber tenaga kerja yang ada. Jaminan
keamanan termasuk meminimalkan risiko produksi atau kerugian sebagai akibat
keragaman proses ekologis, ekonomis, atau sosial.
- Identitas sosial budaya
Sistem
penggunaan lahan yang diterapkan secara perorangan harus selaras dengan budaya
setempat dan visi masyarakat terhadap kedudukan dan hubungan mereka dengan
alam. Bentuk bentang lahan penggunaan lahan dan perkembangannya merupakan
bagian dari identitas masyarakat yang hidup di dalamnya. Petani biasanya
memiliki kebutuhan yang kuat untuk memihak pada budaya setempat. Sejarah dan
tradisi memainkan peranan penting dalam kehidupan, cara dan sistem penggunaan
lahan mereka. Perubahan yang tidak selaras dengan nilai-nilai sosial, budaya,
spiritual mereka, bisa menyebabkan stress dan menciptakan kekuatan yang
berlawanan.
- Gender
Gender
menggambarkan peran laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari konstruksi
sosial budaya. Perbedaan gender dalam suatu
masyarakat menggambarkan perbedaan peran laki-laki dan perempuan,
bukan disebabkan oleh perbedaan biologis, melainkan oleh nilai-nilai,
norma-norma, hukum, ideologi dari masyarakat yang
bersangkutan. Karena gender merupakan hasil konstruksi sosial
budaya, maka perbedaan gender dalam suatu masyarakat dapat berubah dari waktu
ke waktu.
- Kesempatan kerja di luar lahan atau di luar sektor
pertanian
Penghasilan
lain dari luar (off-farm) atau di luar sektor pertanian ini (non-farm) juga
memberikan keuntungan untuk memenuhi kebutuhan tunai jangka pendek, yang tidak
bisa menunggu sampai musim panen tiba. Jenis pekerjaan lain yang paling mudah
menghasilkan tunai adalah menjual tenaga di bidang pertanian misalnya sebagai
buruh tani. Pekerjaan di luar pertanian adalah pedagang, usaha transportasi,
tenaga kasar, tukang, karyawan swasta, pemerintah, dan sebagainya. Seringkali
dijumpai petani yang merangkap sebagai sopir, pedagang, pegawai, ternyata
memiliki tingkat penghasilan yang lebih baik daripada menjadi petani saja.
Mereka memiliki kelebihan dibandingkan petani murni, misalnya akses terhadap
pasar dan informasi, ketahanan terhadap risiko kegagalan usaha tani dan
sebagainya. Petani campuran itu ternyata bisa menjalankan usaha taninya dengan
lebih efisien, sehingga usaha taninya lebih berkembang (Hairiah et al.,
2000).
4. Jaminan kesinambungan (sustainability)
Sistem penguasaan
lahan dan hasil agroforestri (singkatnya sumber daya agroforestri)
menggambarkan tentang sekumpulan hak-hak yang dipegang oleh
seseorang atau kelompok orang-orang dalam suatu pola hubungan
sosial terhadap suatu unit lahan dan hasil agroforestri dari lahan
tersebut. Singkatnya, siapa mempunyai hak apa. Hak-hak itu menunjuk
pada aspek hukum dari sistem penguasaan sumber daya agroforestri.
1) Penguasaan
lahan
Penguasaan
lahan (property right) sangat penting dalam pelaksanaan
agroforestri. Apabila tidak ada kepastian penguasaan lahan, maka insentif untuk
menanam pohon/agroforestri menjadi sangat lemah, mengingat sistem agroforestri
merupakan strategi usaha tani dalam jangka panjang. Investasi yang dilakukan
dalam pembukaan lahan dan penanaman pohon akan dinikmati dalam waktu yang lebih
panjang. Oleh karena itu diperlukan kepastian pengusahaan lahan dan pohon untuk
memberikan jaminan kepada petani untuk menikmati hasil panen.
- Privatisasi
Beberapa penelitian telah menjelaskan hubungan antara
sistem-sistem penguasaan lahan (land tenure systems) dengan
praktek agroforestri. Berdasarkan kasus di Mbeere – Kenya, Brokensha
dan Riley (1987) menjelaskan bahwa privatisasi atau pemberian hak
milik telah mendorong petani menanam pohon pohon karena alasan kepastian
penguasaan lahan (the security of land tenure).
- Lahan individu, bukan komunal
Kepastian
penguasaan lahan dan jaminan memperoleh manfaat dari agroforestri sebagai
faktor penentu bagi praktek agroforestri. Murray
(1987) menjelaskan bahwa berdasarkan sistem tenurial/kepemilikan
lahan yang ada di Haiti (Amerika Latin), petani melaksanakan budidaya
pohon-pohon pada lahan milik individual dan tidak bersedia
melaksanakanya pada lahan komunal (commonly owned kin-land)
atau lahan negara (state land). Hal ini karena lahan
milik sendiri memberikan jaminan memperoleh manfaat yang
lebih besar daripada lahan komunal atau lahan negara.
Petani mengadopsi budidaya pohon-pohon lebih karena
alasan ekonomi (cashflow) daripada keuntungan
ekologisnya. Berdasarkan kasus di Nigeria (Afrika), Adeyoju
(1987) menjelaskan bahwa karena agroforestri lebih membutuhkan modal
daripada pertanian tradisional, maka kepastian penguasaan lahan (the
security of land tenure) diperlukan oleh petani untuk menjamin
investasinya.
2. Penguasaan atas pohon
Dalam kasus-kasus
tertentu hak atas lahan dipisahkan dari hak atas hasil agroforestri, sedangkan
dalam kasus-kasus lainnya hak atas hasil agroforestri melekat pada hak atas
lahan yang digunakan untuk agroforestri. Misalnya, pada
masyarakat suku Dayak di pedesaan Kalimantan Barat, siapa yang
menguasai lahan sekaligus juga menguasai jenis tumbuhan atau tanaman yang
tumbuh di atasnya (Peluso dan Padoch, 1996). Pada masyarakat suku
Muyu, Irian Jaya, sagu (dan juga tanaman jenis pohon lain) menjadi simbol hak
pemilikan suatu unit lahan (Schoorl, 1970), demikian pula di pedesaan Sukabumi,
Jawa Barat (Suharjito, 2002) dan Jawa pada umumnya. Fortmann (1988)
menjelaskan bahwa penguasaan atas pohon mencakup sekumpulan hak- hak yang dapat
dipegang oleh orang yang berbeda pada waktu yang berbeda.
·
Kategori
hak
Terdapat empat kategori hak atas pohon, yaitu (1) hak
untuk memiliki atau mewariskan pohon-pohon; (2) hak untuk menanam pohon; (3)
hak untuk menggunakan pohon dan hasil dari pohon; (4) hak untuk
memindahtangankan pohon: merusak, memberikan, menyewakan, atau menggadaikan
(Fortmann, 1988). Karena hasil agroforestri bukan hanya
pohon, maka hak-hak tersebut dapat pula dilekatkan pada hasil agroforestri
selain pohon.
·
Kategori
pemegang hak
·
Pemegang
hak (right holders) dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu negara
(pemerintah), kelompok, rumah tangga, dan
individu. Pemerintah memiliki hak-hak dalam (1) mengatur
penggunaan lahan dan hasil agroforestri daripadanya yang dimiliki oleh pihak
lain; (2) melarang atau membatasi
penggunaan lahan dan hasil agroforestri pada kawasan
hutan tertentu, misalnya kawasan lindung; (3) memberikan ijin penggunaan secara
terbatas atas lahan dan hasil agroforestri pada kawasan lindung (Fortmann,
1988).
3. Aspek hubungan sosial
Selain dari aspek
hukumnya, sistem penguasaan sumber daya agroforestri mengandung aspek hubungan
sosial. Hubungan sosial itu dapat berupa hubungan kerja
atau bagi hasil antara pemilik agroforestri dengan buruh tani, hubungan sewa
atau gadai antara pemilik lahan dengan penyewa atau penggadai lahan,
hubungan kontrak lahan antara pemilik lahan dengan pemilik modal
yang mengkontrak lahan untuk budidaya agroforestri.
Hubungan sosial itu
menunjukkan posisi-posisi dan kekuasaan-kekuasaan orang-orang (pihakpihak) yang
terlibat. Siapa (pihak) yang memegang kekuasaan lebih besar terhadap sumber
daya agroforestri akan menentukan pola hubungan tersebut dan menentukan sistem
agroforestri yang dikembangkan.
Adanya perkembangan
sosial ekonomi, hubungan-hubungan sosial berkembang dan aturan penguasaan
sumber daya agroforestri semakin kompleks. Misalnya di pedesaan Jawa sudah lama
berkembang sistem sewa, gadai, bagi hasil sehingga hak atas lahan dapat
terpisah dari hak atas tanaman. Bentuk lain pola kerjasama budidaya
agroforestri yang melibatkan dua pemegang hak yang terpisah yaitu
pemegang hak atas lahan dan pemegang hak atas tanaman adalah sistem tumpangsari
yang dikembangkan oleh Perum Perhutani bekerjasama dengan petani (Kartasubrata,
1995), sistem nurut yang dikembangkan oleh petani di Sukabumi
(Suharjito, 2002). Pada masyarakat Ende (Lio) juga berkembang
sistem kewe, yaitu penyewaan lahan dari pihak pemilik kepada pihak
penyewa, penyewa menyerahkan sejumlah uang atau ternak dan ia dapat
menggunakan lahan untuk jangka waktu tertentu (Teluma,2002).
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Agroforestry menurut
Huxley (dalam Suharjito et al.)
merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman
berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak
berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya
(lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman
berkayu dengan komponen lainnya.
Pada dasarnya agroforestry terdiri dari tiga
komponen pokok yaitu : kehutanan, pertanian, dan peternakan. Agroforestry utamanya
diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan
lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup
masyarakat. Sistem keberlanjutan ini dicirikan antara lain oleh tidak
adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya
pencemaran lingkungan.
Di tingkat petani,
keputusan untuk menerapkan dan mengembangkan agroforestri mencakup berbagai hal
yang jauh lebih kompleks dari sekedar analisis
untung-rugi. Suatu sistem penggunaan lahan dinilai dari bagaimana
sistem tersebut dapat memenuhi kebutuhan dasar petani, termasuk
pangan, papan, dan penghasilan tunai. Sayangnya, sistem
penggunaan lahan yang potensial seringkali dibatasi oleh berbagai faktor lain,
seperti kebijakan yang berlaku, infrastruktur yang tersedia, aturan-aturan
sosial budaya, ketersediaan sumber daya, kemudahan akses terhadap
informasi. Kesemua faktor tersebut mempengaruhi apakah suatu sistem
agroforestri layak untuk dikembangkan, menguntungkan baik secara ekonomi maupun
dari segi biofisik, dapat diterima atau paling tidak sesuai dengan
sosial budaya setempat, dan terjamin kesinambungannya.
DAFTAR PUSTAKA
Suharjito, Didik, Leti Sundawati, Suryanto, Sri Rahayu Utami. 2003. Aspek
Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestri: PDF. ICRAF. Bogor
Suyanto S, Khususiyah N, Permana RP and MD
Angeles. 2002. The Role of
Land Tenure in
Improving Sustainbale Land Management and Environment in Forest Zone. Draft report of CIFOR/ICRAF fire
project.
Schoorl JW. 1970. Muyu Land
Tenure. New Guinea Research Bulletin No. 38:
34-41. The New Guinea Research Unit, The
Australian National University. Canbera.
Suharjito D dan S Sarwoprasodjo.
1997. Organisasi Keluarga dan Status Wanita
(Studi Kasus
Peranan Wanita Pada Keluarga Penyadap Getah Pinus dan Keluarga Petani Hutan
Rakyat). Penelitian OPF. Pusat Studi Wanita, Lembaga
Penelitian IPB.Bogor.
Suharjito D, Mugniesyah SM, Guhardja S dan Sri
Hartoyo. 1997. Hubungan Perilaku Manusia dan Lingkungan Binaan (Studi Kasus
Gender dalam Pembinaan Program Penghijauan di DAS Cimanuk Hulu, Propinsi Jawa
Barat). Penelitian Ilmu Pengetahuan Dasar-Ditjen
DIKTI. Pusat Studi Wanita, Lembaga Penelitian IPB.Bogor.
Suharjito D. 2002. Kebun-Talun: Strategi Adaptasi
Sosial Kultural dan Ekologi Masyarakat
Pertanian Lahan Kering di Desa Buniwangi, Sukabumi-Jawa
Barat. Disertasi, Program Studi Antropologi Universitas Indonesia.
Suryanata K. 2002. Dari Pekarangan menjadi Kebun
Buah-Buahan: Stabilisasi
Sumber daya
dan Diferensiasi Ekonomi di Jawa. Dalam Murray Li T (Penyunting).
Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Yayasan Obor
Indonesia.
Teluma, D.L. 2002. Pengembangan Program
Wanatani. Dalam Roshetko JM et al. (editor). Wanatani
di Nusa Tenggara. ICRAF dan Winrock International. Bogor.
Van der Poel P and H van
Dijk. 1987. Household Economy and Tree Growing in
Upland Central
Java. Agroforestry Systems No. 5: 169-184. Martinus
Nijhoff Publishers. Dordrecht. The Netherlands.
Wijayanto
N. 2001. Faktor dominan dalam sistem pengelolaan hutan kemasyarakatan. Disertasi S3, PPS-IPB. Bogor.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan