Makalah Biografi Tokoh Islam Lengkap





BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Data-data sejarah telah banyak menunjukkan bahwa sejak awal perkembangannya, agama Islam di Indonesia telah menanamkan akar yang dalam  dengan adanya para tokoh yang memperjuangkan pendidikan  agama Islam. Namun dalam perkembangannya, peran-peran-peran itu tidak lagi menjadi pemahaman masyarakat Indonesia secara layak, terutama di generasi muda. Banyak generasi muda yang tidak tahu siapa tokoh-tokoh Islam di pentas sejarah pergerakan nasional dalam rangka melahirkan bangsa ini.Oleh karena itu, penulis mencoba menyajikan tentang tokoh-tokoh pendidikan Islam di Indonesia.

B.  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk mengetahui Biografi Toko Islam yaitu :   
1.      Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
2.      Syeikh Abdus Somad bin Abdurahman al-Jawi al-Palimbani

BAB II
PEMBAHASAN

1.    Biografi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
Nama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari hingga kini masih melekat di hati masyarakat Martapura, Kalimantan Selatan, meski putra Banjar kelahiran Desa Lok Gabang, 19 Maret 1710 M, itu telah meninggal sejak 1812 M silam. Ia meninggalkan banyak jejak dalam bentuk karya tulis di bidang keagamaan. Karya-karyanya bak sumur yang tak pernah kering untuk digali hingga generasi kini. Tak mengherankan bila seorang pengkaji naskah ulama Melayu berkebangsaan Malaysia menjulukinya sebagai Matahari Islam Nusantara. Matahari itu terus memberikan pencahayaan bagi kehidupan umat Islam.
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Ia sempat menuntut ilmu-ilmu agama Islam di Mekkah. Sekembalinya ke kampung halaman, hal pertama yang dikerjakannya adalah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar.
Kisah tempat pengajian ini diuraikan dalam buku seri pertama Intelektual Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, terbitan Diva Pustaka, Jakarta. Mulanya lokasi ini berupa sebidang tanah kosong yang masih berupa hutan belukar pemberian Sultan Tahmidullah, penguasa Kesultanan Banjar saat itu. Syekh Arsyad al-Banjari menyulap tanah tersebut menjadi sebuah perkampungan yang di dalamnya terdapat rumah, tempat pengajian, perpustakaan dan asrama para santri.
Sejak itu, kampung yang baru dibuka tersebut didatangi oleh para santri dari berbagai pelosok daerah. Kampung baru ini kemudian dikenal dengan nama kampung Dalam Pagar. Di situlah diselenggarakan sebuah model pendidikan yang mengintegrasikan sarana dan prasarana belajar dalam satu tempat yang mirip dengan model pesantren. Gagasan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari ini merupakan model baru yang belum ada sebelumnya dalam sejarah Islam di Kalimatan masa itu.
Pesantren yang dibangun di luar kota Martapura ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi proses belajar mengajar para santri. Selain berfungsi sebagai pusat keagamaan, di tempat ini juga dijadikan pusat pertanian. Syekh Muhammad Arsyad bersama beberapa guru dan muridnya mengolah tanah di lingkungan itu menjadi sawah yang produktif dan kebun sayur, serta membangun sistem irigasi untuk mengairi lahan pertanian.
Tidak sebatas membangun sistem pendidikan model pesantren, Syekh Muhammad Arsyad juga aktif berdakwah kepada masyarakat umum, dari perkotaan hingga daerah terpencil. Kegiatan itu pada akhirnya membentuk perilaku religi masyarakat. Kondisi ini menumbuhkan kesadaran untuk menambah pengetahuan agama dalam masyarakat.
Dalam menyampaikan ilmunya, Syekh Muhammad Arsyad sedikitnya punya tiga metode. Ketiga metode itu satu sama lain saling menunjang. Selain dengan cara bil hal, yakni keteladanan yang direfleksikan dalam tingkah laku, gerak gerik dan tutur kata sehari-hari yang disaksikan langsung oleh murid-muridnya, Syekh Muhammad Arsyad juga memberikan pengajaran dengan cara bil lisan dan bil kitabah. Metode bil lisan dengan mengadakan pengajaran dan pengajian yang bisa disaksikan diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat, sahabat maupun handai taulan, sedangkan metode bil kitabah menggunakan bakatnya di bidang tulis menulis.
Dari bakat tulis menulisnya, lahir kitab-kitab yang menjadi pegangan umat. Kitab-kitab itulah yang ia tinggal setelah Syekh Muhammad Arsyad tutup usia pada 1812 M, di usia 105 tahun. Karya-karyanya antara lain, Sabil al-Muhtadin, Tuhfat ar-Raghibiin, al-Qaul al-Mukhtashar, disamping kitab ushuluddin, tasawuf, nikah, faraidh dan kitab Hasyiyah Fath al-Jawad. Karyanya paling monumental adalah kitab Sabil al-Muhtadin yang kemasyhurannya tidak sebatas di daerah Kalimantan dan Nusantara, tapi juga sampai ke Malaysia, Brunei dan Pattani (Thailand Selatan).
Anak Cerdas dari Lok Gabang
Sekali waktu, Sultan Kerajaan Banjar, Sultan Tahmidullah, berkunjung ke kampung-kampung yang ada di wilayahnya. Tiba di Kampung Lok Gabang, ia terkesima melihat lukisan yang indah. Setelah bertanya, dia mengetahui pelukisnya bernama Muhammad Arsyad, seorang anak berusia tujuh tahun. Tertarik dengan kecerdasan dan bakat anak kecil itu, Sultan berniat mengasuhnya di istana.
Mulanya, Abdullah dan Siti Aminah, kedua orangtua Arsyad, enggan melepas anak sulungnya itu. Tapi atas pertimbangan masa depan si buah hati, keduanya pun menganggukkan kepala. Di istana, Arsyad kecil bisa membawa diri, selalu menunjukkan keluhuran budi pekertinya. Sifat-sifat terpuji itu membuat ia disayangi warga istana. Bahkan, Sultan memperlakukannya seperti anak kandung.
Beranjak dewasa, Arsyad dikawinkan dengan Bajut, seorang perempuan yang salehah. Ketika Bajut tengah mengandung anak pertama, terlintas di benak Arsyad untuk menuntut ilmu di Tanah Suci Mekkah. Sang istri tidak keberatan demi niat suci suami, meski dengan perasaan berat. Setelah mendapat restu Sultan, Arsyad berangkat untuk mewujudkan cita-citanya.
Begitulah sepenggal kisah perjalanan hidup Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, ulama besar kelahiran Lok Gabang, Martapura, 19 Maret 1710 M.

Memperdalam Ilmu Agama
Di Tanah Suci, Arsyad memperdalam ilmu agama. Guru-gurunya, antara lain Syekh Athaillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, dan al-‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman al-Hasani al-Madani.
Namanya terkenal di Mekkah karena keluasan ilmu yang dimiliki, terutama ilmu qiraat. Ia bahkan mengarang kitab qiraat 14 yang bersumber dari Imam asy-Syatibi. Uniknya, setiap juz kitab tersebut dilengkapi dengan kaligarafi khas Banjar.
Menurut riwayat, selama belajar di Mekkah dan Madinah, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari belajar bersama tiga ulama Indonesia lainnya: Syekh Abdus Shomad al-Palembani (Palembang), Syekh Abdul Wahab Bugis, dan Syekh Abdurrahman Mesri (Betawi). Mereka berempat dikenal dengan Empat Serangkai dari Tanah Jawi yang sama-sama menuntut ilmu di al-Haramain asy-Syarifain. Belakangan, Syekh Abdul Wahab Bugis kemudian menjadi menantunya karena kawin dengan anak pertama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Setelah lebih dari 30 tahun menuntut ilmu, timbul hasratnya untuk kembali ke kampung halaman. Sebelum sampai di tanah kelahirannya, Syekh Arsyad singgah di Jakarta. Ia menginap di rumah salah seorang temannya waktu belajar di Mekkah. Bahkan, menurut kisahnya, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sempat memberikan petunjuk arah kiblat Masjid Jembatan Lima di Jakarta sebelum kembali ke Kalimantan.
Ramadhan 1186 H bertepatan dengan 1772 M, Syekh Arsyad tiba di kampung halamannya di Martapura, pusat Kerajaan Banjar masa itu. Raja Banjar, Sultan Tahmidullah, menyambut kedatangannya dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyat mengelu-elukannya sebagai seorang ulama Matahari Agama yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar.
Syekh Arsyad aktif melakukan penyebaran agama Islam di Kalimantan. Tak hanya dalam bidang pendidikan dengan mendirikan pesantren lengkap sarana dan prasarananya, termasuk sistem pertanian untuk menopang kehidupan para santrinya, tapi juga berdakwah dengan mengadakan pengajian, baik di kalangan istana maupun masyarakat kelas bawah.
Lebih dari 40 tahun Syekh Arsyad melakukan penyebaran Islam di daerah kelahirannya, sebelum maut menjemputnya. Beliau meninggal pada tahun 1812 M dalam usia 105 tahun. Sebelum wafat, dia sempat berwasiat agar jasadnya dikebumikan di Kalampayan bila sungai dapat dilayari atau di Karang Tengah, tempat istrinya, Bujat, dimakamkan bila sungai tidak bisa dilayari. Namun karena saat meninggal air sedang surut, maka ia dikebumikan Kalampayan, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan. Di daerah yang terletak sekitar 56 km dari kota Banjarmasin itulah jasad Datuk Kalampayan (panggilan lain anak cerdas kelahiran Lok Gabang) ini dikebumikan.

Kitab Sabil Al-Muhtadin
Alasan utama penulisan kitab ini oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, karena adanya kesulitan umat Islam Banjar dalam memahami kitab-kitab fikih yang ditulis dalam bahasa Arab.
Kitab-kitab yang membahas masalah fikih (ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji) di Indonesia cukup banyak. Jumlahnya bisa mencapai ribuan, baik yang ditulis ulama asal Timur Tengah, ulama Nusantara maupun para ilmuwan kontemporer yang memiliki spesifikasi tentang keilmuan dalam bidang fikih atau hukum Islam.
Dari berbagai kitab fikih yang ada, salah satunya adalah kitab Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquh fi Amr ad-Din (Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk agar menjadi faqih alim dalam urusan agama).
Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab-Melayu dan merupakan salah satu karya utama dalam bidang fikih bagi masyarakat Melayu. Kitab ini ditulis setelah Syekh Muhammad Arsyad mempelajari berbagai kitab-kitab fikih yang ditulis para ulama terdahulu, seperti kitab Nihayah al-Muhtaj karya Imam ar-Ramly, kitab Syarh Minhaj oleh Imam Zakaria al-Anshary, kitab Mughni oleh Syekh Khatib asy-Syarbini, kitab Tuhfat al-Muhtaj karya Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, kitab Mir’atu ath-Thullab oleh Syekh Abdurrauf as-Sinkili dan kitab Shirath al-Mustaqim karya Syekh Nurruddin ar-Raniri.
2.    Biografi Syeikh Abdul Samad Al-Falimbani
Lembaran akhir kitab Siyarus Salikin dinyatakan diselesaikan di Taif pada tahun 1203 Hijrah. SHEIKH Abdus Shamad al-Falimbani adalah seorang ulama sufi yang agung di Nusantara, beliau sangat anti terhadap penjajah dan ia telah menunjukkan kesanggupan luar biasa untuk berjuang demi ketinggian Islam semata-mata. Dua karya Sheikh Abdus Samad al-Falimbani yang paling popular ialah Hidayat as-Salikin dan Siyar as-Salikin. Nama lain untuk Hidayat as-Salikin ialah as-Salikin, diselesaikan tahun 1192 H/1778 M, yang merupakan terjemahan kitab Bidayat as-Salikin karya Imam al-Ghazali dengan tambahan-tambahannya yang cukup banyak.
Prof. Dr. Hamka menyebut dalam salah satu karangannya, bahawa setelah belajar di Mekah, Sheikh Abdus Shamad Palembang tidak pernah kembali ke tanah airnya Palembang, lantaran bencinya terhadap penjajah Belanda. Sebagaimana disebutkan bahawa yang sebenarnya menurut khabar yang mutawatir, dan bukti-bukti bertulis bahawa Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani pulang buat kali pertamanya ke Nusantara bersama-sama sahahat-sahabatnya iaitu Sheikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari, Sheikh Abdul Wahab Sadenreng Daeng Bunga Bugis, Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani, dan Sheikh Abdur Rahman al-Masri.
Diceritakan oleh Sheikh Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari dalam Syajaratul Arsyadiyah, bahawa gurunya menasihati mereka jika ke Mesir untuk mendalami ilmu pengetahuan, hal itu akan mengecewakan kerana Sheikh Abdus Shamad dan Sheikh Muhammad Arsyad Banjar itu bukan layak menjadi mahasiswa, akan tetapi layak menjadi mahaguru.
Di Mesir adalah sukar mencari ulama yang lebih tinggi pengetahuannya daripada ulama-ulama yang berasal Jawi itu. Tetapi gurunya tidak melarang maksud suci itu, namun gurunya itu menegaskan jika ke Mesir hanya ingin bertemasya melihat keindahan dan peninggalan-peninggalan kuno khas Mesir, hal itu adalah merupakan suatu ilmu pengetahuan perbandingan pula.
Sheikh Abdus Shamad dan kawan-kawan dikatakan sempat ke Mesir tetapi bukan belajar di sana melainkan ingin mengunjungi lembaga-lembaga pendidikan di Mesir ketika itu. Mereka bukan saja ke Kaherah tetapi termasuk beberapa kota kecil, bahkan sampai ke pedalaman dan di hulunya. Banyak madrasah dan sistem pendidikannya menjadi perhatian mereka bahawa mereka bercita-cita menerapkan kaedah Mesir yang agak berbeza dengan kaedah pendidikan di Pattani.
Sekembali dari Mesir, mereka tidak tinggal lama di Mekah mahupun Madinah. Setelah diizinkan oleh Sheikh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman, maka mereka berangkat menuju ke Jeddah. Dari Jeddah mereka menumpang sebuah perahu layar, pulang ke tanah air. Berbulan-bulan di laut sampailah mereka di Pulau Pinang. Mereka kemudian menziarahi Kedah dan Perak, kemudian melalui jalan darat terus ke Singapura. Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani walaupun telah dekat dengan negerinya Pattani namun beliau tidak pulang tetapi disebabkan semangat setiakawannya, beliau mengikuti teman-temannya ke Singapura.'
'Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani hanya sampai di Singapura saja, tetapi dalam riwayat lain ada yang mengatakan beliau menghantar sampai ke Betawi. Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani dan Sheikh Muhammad Arsyad meneruskan pelayaran ke Betawi (Jakarta). Setelah di Betawi, pada satu hari Jumaat, mereka sembahyang di Masjid Kampung Sawah Jambatan Lima, Betawi. Walaupun masjid itu telah lama didirikan, menurut Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani, dan Sheikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari bahawa adalah arah ke kiblat masjid itu tidak tepat sebagaimana semestinya.
Orang yang hadir dalam masjid itu sangat hairan melihat mereka melakukan solat tahiyatul masjid jauh miring dari seperti apa yang dikerjakan oleh orang lain. Lalu ada yang bertanya dan dijawab oleh mereka bahawa arah kiblat menurut biasa itu adalah tidak tepat, dan yang betulnya seperti yang mereka lakukan dan. Maka, berlaku sedikit salah faham antara mereka dan hadirin tersebut.
Dengan tangkas Sheikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari maju kemuka. Ia berdiri di depan sekali, diangkatkannya tangannya ke arah hadirin majlis Jumaat hari itu, sangat aneh dan ajaib sekali tiba-tiba saja yang hadir itu langsung dapat melihat Kaabatullah ke arah lurus tangan Sheikh Muhammad Arsyad itu. Suasana tenang kembali, tiada siapa berani membantah. Khalayak ramai maklum bahawa orang-orang yang melakukan solat tahiyatul masjid yang berbeza dengan mereka itu adalah para wali Allah yang ditugaskan Wali Quthub Sheikh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman yang terkenal itu. Kononnya, mulai hari Jumaat itu arah kiblat diubah atau diperbetulkan dengan dibuat garis merah sebagai tandanya.
Peristiwa itu akhirnya diketahui penguasa Belanda, selaku kuasa penjajah pada zaman itu. Belanda menangkap Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani, Sheikh Muhammad Arsyad al-Banjari, dan Sheikh Abdul Wahab Bugis dan mereka dituduh sebagai pengacau keamanan. Mereka dibawa ke atas sebuah kapal yang sedang berlabuh di Betawi, di atas kapal itulah mereka disoal, dihujani dengan pelbagai pertanyaan yang sukar dijawab. Akan tetapi pihak Belanda sangat mengagumi pengetahuan mereka sehingga setelah tiga hari tiga malam, barulah mereka dibebaskan begitu saja. Setelah peristiwa itu barulah mereka kembali ke tempat kelahiran masing-masing. Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani pulang ke Palembang, Sheikh Muhammad Arsyad al-Banjari pulang ke Banjar, kemudian Sheikh Abdul Wahab Bugis juga ke Banjar mengikut Sheikh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Ramai meriwayatkan cerita yang menarik ketika Sheikh Abdus Shamad berada di negerinya Palembang. Oleh kerana rasa bencinya kepada Belanda, ditambah pula dengan peristiwa di atas kapal itu, beliau bertambah kecewa kerana melihat pihak Belanda yang kafir telah memegang pemerintahan di lingkungan Islam dan tiada kuasa sedikit pun bagi Sultan. Maka beliau rasa tidak betah untuk diam di Palembang walaupun beliau kelahiran negeri itu. Sheikh Abdus Shamad mengambil keputusan sendiri tanpa musyawarah dengan siapa pun, semata-mata memohon petunjuk Allah dengan melakukan solat istikharah. Keputusannya, beliau mesti meninggalkan Palembang, mesti kembali ke Mekah semula. Lantaran terlalu anti Belanda, beliau tidak mahu menaiki kapal Belanda sehingga terpaksa menebang kayu di hutan untuk membuat perahu bersama-sama orang-orang yang patuh sebagai muridnya. Walaupun sebenarnya beliau bukanlah seorang tukang yang pandai membuat perahu, namun beliau sanggup mereka bentuk perahu itu sendiri untuk membawanya ke Mekah. Tentunya ada beberapa orang muridnya mempunyai pengetahuan membuat perahu seperti itu.
Ini membuktikan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani telah menunjukkan keteguhan pegangan, tawakkal adalah merupakan catatan sejarah yang tidak dapat dilupakan. 

Pulang ke nusantara buat kali kedua
Setelah perahu siap dan kelengkapan pelayaran cukup, maka berangkatlah Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani dari Palembang menuju Mekah dengan beberapa orang muridnya. Selama di Mekah, beliau bergiat dalam pengajaran dan penulisan kitab-kitab dalam beberapa bidang pengetahuan keislaman, terutamanya tentang tasauf, fikah, usuluddin dan lain-lain. Untuk menunjukkan sikap antinya kepada penjajah, dikarangnya sebuah buku tentang jihad. Buku yang penting itu berjudul Nasihatul Muslimin wa Tazkiratul Mu’minin fi Fadhail Jihadi fi Sabilillah wa Karamatul Mujahidin fi Sabilillah.
Kegiatan-kegiatannya di bidang penulisan akan dibicarakan pada bahagian lain.
Di sini terlebih dahulu diceritakan kepulangan beliau ke nusantara untuk kali kedua. Kepulangan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani kali ini tidak ke Palembang tetapi ke Kedah. Saudara kandungnya Sheikh Wan Abdul Qadir bin Sheikh Abdul Jalil al-Mahdani ketika itu ialah Mufti Kerajaan Kedah. Seorang lagi saudaranya, Sheikh Wan Abdullah adalah pembesar Kedah dengan gelar Seri Maharaja Putera Dewa. Meskipun Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani lama menetap di Mekah, namun hubungan antara mereka tidak pernah terputus. Sekurang-kurangnya mereka berutus surat setahun sekal, iaitu melalui mereka yang pulang selepas melaksanakan ibadah haji.
Selain hubungan beliau dengan adik-beradik di Kedah, Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani turut membina hubungan dengan kaum Muslimin di seluruh Asia Tenggara. Pada zaman itu hampir semua orang yang berhasrat mendalami ilmu tasauf terutama di sektor Tarekat Sammaniyah, Tarekat Anfasiyah dan Tarekat Khalwatiyah menerima ilmu daripada beliau. Beliau sentiasa mengikuti perkembangan di Tanah Jawi (dunia Melayu) dengan menanyakan kepada pendatang-pendatang dari Pattani, Semenanjung Tanah Melayu, dan negeri-negeri Nusantara yang di bawah penjajahan Belanda (pada zaman itu masih disebut Hindia Belanda).
Ini terbukti dengan pengiriman dua pucuk surat kepada Sultan Hamengkubuwono I, Sultan Mataram dan kepada Susuhunan Prabu Jaka atau Pangeran Singasari Putera Amengkurat IV. Surat-surat tersebut jatuh ke tangan Belanda di Semarang (tahun 1772 M). Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani telah lama bercita-cita untuk ikut serta dalam salah satu peperangan/pemberontakan melawan penjajah. Namun setelah dipertimbangkan, beliau lebih tertarik membantu umat Islam di Pattani dan Kedah melawan keganasan Siam yang beragama Buddha.
Sebelum perang itu terjadi, Sheikh Wan Abdul Qadir bin Sheikh Abdul Jalil al-Mahdani, Mufti Kedah mengirim sepucuk surat kepada Sheikh Abdus Shamad di Mekah. Surat itu membawa maksud agar diumumkan kepada kaum Muslimin yang berada di Mekah bahawa umat Islam Melayu Pattani dan Kedah sedang menghadapi jihad mempertahankan agama Islam dan watan (tanah air) mereka. Dalam peperangan itu, Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani memegang peranan penting dengan beberapa panglima Melayu lainnya. Ada catatan menarik mengatakan beliau bukan berfungsi sebagai panglima sebenarnya tetapi beliau bertindak sebagai seorang ulama sufi yang sentiasa berwirid, bertasbih, bertahmid, bertakbir dan berselawat setiap siang dan malam.
Banyak orang menuduh bahawa orang sufi adalah orang-orang jumud yang tidak menghiraukan dunia. Tetapi jika kita kaji beberapa biografi ulama sufi, termasuk Sheikh Abdus Shamad yang diriwayat ini adalah orang-orang yang bertanggungjawab mempertahankan agama Islam dan tanah air dari hal-hal yang dapat merosakkan Islam itu. Golongan ini adalah orang yang berani mati dalam menegakkan jihad fi sabililah. Mereka tidak terikat dengan sanak keluarga, material duniawi, pangkat dan kedudukan dan sebagainya, mereka semata-mata mencintai Allah dan Rasul dari segala apa pun juga.
Kepulangan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani ke Kedah memang pada awalnya bertekad demi jihad, bukan kerana mengajar masyarakat mengenai hukum-hukum keislaman walaupun beliau pernah mengajar di Mekah. Dipendekkan kisah akhirnya Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani dan rombongan pun berangkat menuju ke Pattani yang bergelar ‘Cermin Mekah’. Sayangnya kedatangan beliau agak terlambat, pasukan Pattani telah hampir lemah dengan keganasan Siam.
Sementara itu, Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani dan pengikut-pengikutnya telah mengundurkan diri ke Pulau Duyung, Terengganu untuk menyusun semula langkah perjuangan. Pattani telah patah dan kekuatan lenyap dengan itu Sheikh Abdus Shamad pun berkhalwat di salah sebuah masjid di Legor. Ada orang mengatakan beliau berkhalwat di Masjid Kerisik yang terkenal dengan ‘Pintu Gerbang Hang Tuah’ itu. Para pengikut tasauf percaya di sanalah beliau menghilang diri tetapi bagi kalangan bukan tasauf, perkara ini adalah mustahil dan mereka lebih percaya bahawa beliau telah mati dibunuh oleh musuh-musuh Islam.
Mengenai tahun peperangan yang terjadi antara Kedah dengan Siam, dalam Al-Tarikh Salasilah Negeri Kedah menyebut bahawa kejadian tersebut berlaku pada 1244 H bersamaan dengan 1828 M. Sungguhpun demikian, seorang ahli sejarah Kedah, Hj. Wan Shamsuddin, berpendapat bahawa kemuncak peperangan terjadi ialah pada 1254 H/1838 M, iaitu 10 tahun kemudian dari yang disebut oleh Al-Tarikh Salasilah Negeri Kedah itu. Oleh itu, yang mana yang lebih tepat antara 1244 H/1828 M atau 1254 H/1838 M, perlu kepada penyelidikan lanjut.

 BAB III
  PENUTUP

Kesimpulan
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Ia sempat menuntut ilmu-ilmu agama Islam di Mekkah. Sekembalinya ke kampung halaman, hal pertama yang dikerjakannya adalah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar.
            Nama lengkap beliau adalah Syeikh Abdus Somad bin Abdurahman al-Jawi al-Palimbani. Lahir dan dibesarkan di Palembang pada tahun 1150 H atau 1736 M  demikian menurut Kgs M. Zen dalam bukunya Faidul Ihsani, buku biografi atas Syeikh Abdusamad al-Palimbani. Berbeda menurut Azumardi Azra, menurutnya satu-satunya sumber yang menyebut angka tahun kelahiran Abdus Somad al-Palimbani adalah Tarikh Salasilah Negeri Kedah, dalam buku itu disebutkan bahwa Abdusamad lahir sekitar 1116 H/ 1704 M. 

Tiada ulasan: